17 Mei 2018

Matahari Pagi di Sikunir

Setelah turun dari Gn. Prau, malam harinya kami mendiskusikan perjalanan untuk keesokan harinya sebelum kembali ke kota masing-masing. 

Saya yang masi setengah sadar hanya mendengarkan tanpa mencerna secara jernih pembicaraan teman-teman yang lain. Malam itu Mas Muhajir menawarkan rencana melihat Sunrise di Sikunir, saya yang setengah sadar hanya mengiyakan saja. 

Setelah itu Mas Rifqy bertanya kepada saya, kira-kira keberatan atau tidak apabila pulangnya agak siang. Sayapun hanya menjawab " Gak masalah Mas ". Setelah melalui diskusi untuk perjalanan besok, satu persatu dari kamipun pergi meninggalkan homestay. 

Saya, lagi-lagi sedang dalam keadaan setegah sadar berpikir sambil bertanya ke diri sendiri  " Masa iya, besok itu balik habis maghrib, kok jam 3 ya berangkat ke Sikunir ".  Alih-alih karena penasaran sayapun bertanya ke Mas Rendra dan Mas Eko "Mas sebenernya kita ini besok berangkat jam berapa sih ? kok jam 3 ya, apa gak kesorean ya "

Barulah serentak Mas Rendra dan Mas Eko menjawab " Lidia, besok ini kita sunrise nah siap-siapnya jam 2 pagi, intinya jam 3 pagi kita harus sudah sampai di Sikunir, bukan jam 3 sore, ingat kita ini mau sunrise bukan sunset " .

Setelah digertak bersamaan, barulah saya tersadar dan sedikit malu. Karena saya masih dalam keadaan setengah sadar, merekapun jadi suka mengejek saya dengan celetukan " Cuma Lidia yang sunrise jam 3 sore, maklum dia gak tinggal di Indonesia ". Karena guyonan itu, akhirnya kami semua tertawa. 

Setelah tertawa dan saling bercerita, kami berangkat tidur ke kamar masing-masing. Sambil saling melempar candaan kepada saya "Ingat ya, Lidia gak usah dibangunin, dia sunrisenya jam 3 sore ". Baiklah saya mengalah. 

Jam 2 Pagi, penghuni homestay sudah mulai ramai dan berisik. Akhirnya sayapun terbangun dan bersiap-siap. Kira-kira jam 3 pas kami berangkat menuju Sikunir. Jalanan menuju Sikunir ini gelap tapi tidak sepi karena banyak mobil dan bus mini melewati jalanan ini. Setibanya di area pedesaan menuju Sikunir barulah terlihat kemacetan jalanan, beberapa mobil dan bus mini sudah antri menuju Sikunir. 

Untuk masuk ke Sikunir ini, perorang dikenai tarif sebesar Rp.10.000. Saya menyarankan agar datang lebih pagi, karena parkiran kendaraan belum terlalu penuh dan tidak perlu jalan terlalu jauh dari start menuju Sikunir. 

Kami tiba di Sikunir tepat pukul 3:30 Wib pagi. Karena masi terlalu malam, akhirnya kami memutuskan untuk berdiam diri di dalam mobil sedangkan Mas Rifqy dan Mas Muhajir sudah keluar mobil terlebih dahulu. Setelah jam 4:00 Wib barulah kami keluar dari mobil dan bersiap menuju puncak Sikunir. 

Perjalanan ke Puncak Sikunir membutuhkan waktu kurang lebih sekitar 30 Menit. Sebelum masuk ke penanjakan, disebelah kanan dan kiri tampak banyak pedagang berjualan camilan, ada gorengan, bubur manis, cilok dan oleh-oleh khas Wonosobo. 

Saya sempat lapar dan ingin membeli gorengan, namun niat itu saya buang jauh-jauh karena masi terlalu pagi dan tidak baik mengonsumsi gorengan di pagi hari. 

Kondisi jalanan menuju Puncak Sikunir ini terus menanjak, tapi jalanannya sudah diberi pegangan dan layaknya berjalan di tangga. Tapi tetap harus berhati-hati karena jalanan agak basah.

Karena saya datang pada hari Minggu, tentu Sikunir ini makin ramai. Saya melangkahkan kaki secara perlahan, karena jalanan di depan saya cukup antri, jadi harus bersabar. Setelah melalui beberapa anakan tangga, kami berhenti sambil mengatur nafas masing-masing. Karena dirasa cukup istirahatnya, perjalananpun kami lanjutkan. 

Setibanya di Pos Pertama, Mas Muhajir menyarankan agar berhenti saja. Apabila nantinya kondisi sudah cerah, barulah disarankan untuk naik lebih ke atas. Waktu itu kabut begitu pekat, tapi tidak sampai menganggu jarak pandang. 

Sambil menunggu, kami semua saling bercerita, terkecuali Mba Fikha, karena Mba Fikha sedang tidur dalam keadaan berdiri. 

Setelah banyak bercerita kira-kira satu jam, akhirnya kami memutuskan untuk turun. Karena melihat kondisi kabut makin pekat dan matahari tak kunjung keluar.


Mas Rifqy, Mba Fikha, Mas Adi dan Mba Eka turun lebih awal. Sayapun bersama Mas Eko dan Mas Rendra masih sibuk mengeluarkan kamera masing-masing sambil memotret beberapa kabut yang ada di Sikunir. 

Saat saya turun, jalananpun makin terlihat padat dan macet. Jalanan semakin lincin dan sayapun harus berhati-hati. Pengunjung Sikunir ini tak kenal usia, mulai dari Ibu-ibu tua hingga anak-anak gaul ada semua di sana, untuk mengabadikan Pagi di Sikunir. 

Saya terus berjalan menurun sambil menyanyi bersama Mas Eko dan Mas Rendra. Kira-kira begini liriknya 

Kuingin marah, tak dapat cerah sudah bangun jam 2 ( Pakai nada single " Kecewa" BCL) 

Kira-kira sedikit lagi sudah sampai diturunan menuju parkiran. Saya melihat matahari muncul, sambil sedikit menyesal kenapa tidak menunggu atau sabar terlebih dahulu. Lalu Mas Muhajir bilang kepada kami " Ah itu di atas masi kabut ". Ya sudah, kamipun pasrah semoga lain waktu bisa tepat. 

Saya, Mas Eko dan Mas Rendra mengabadikan moment matahari muncul di Sikunir. Saya berpikir mungkin matahari ini ingin disemangati agar ia mau muncul dan tersenyum untuk pagi di Sikunir.


Setelah puas berfoto dan cuaca makin cerah, sayapun turun sambil melihat pertunjukan musik di Sikunir sekaligus menyantap bubur manis. 

Sambil berjalan, kami bertemu dengan yang lainnya. Karena perut kami makin lapar, akhirnya Mas Adi, Mas Rifqy dan Mas Rendra pergi membeli gorengan untuk kami makan bersama. Sambil menyatap gorengan, Mas Muhajir menawarkan kami untuk berfoto di depan tulisan SIKUNIR. Karena belum terlalu ramai, akhirnya kami befoto bersama. Setelah berfoto bersama perjalanan kami lanjutkan menuju danau kecebong, yang letaknya masi satu area dengan Sikunir. 

11 Mei 2018

Melihat Dieng dari Gunung Prau: Perjalanan turun via Dieng


Kira-kira jam 5:30 Wib saya keluar tenda dan melihat suasana di luar. Pagi yang masih berkabut dan matahari pun belum muncul, saya mendengar keramaian dan obrolan dari tenda sebelah. Mas Rifqy, Mba Fikha, Mas Eko dan Mas Rendra saling melempar canda dengan keras, tapi suara keras itu tetap membuat saya tertidur. 


Sebelum turun ke Dieng dari sebelah kiri : Mas Rifqy, Mas Muhajir, Mas Adi, Mba Eka, Saya, Mba Fikha, Mas Rendra dan Mas Eko

Baca juga http://www.mesraberkelana.com/2018/04/eiger-women-series-transeat-jacket.html

Jam 9:00 pagi saya terbangun, Mba Eka bilang kalau tidurku cukup lelap. Mungkin karena kecapean dan semalaman tidak bisa tidur. Saya pun bergegas keluar dan melihat pemandangan pagi pegunungan yang berjejer di depan. Dari kejauhan tampak banyak pendaki menantikan pemandangan Sindoro dari Gunung Prau ini, sesekali kabut pergi dari hadapan Sindoro lalu beberapa kemudian datang lagi hingga Sindoro betul-betul tertutup oleh awan. 
Pagi di Gunung Prau waktu itu memang cerah namun pemandangan deretan pegunungan itu tetap tertutup awan. Sayapun sejak awal menantikan deretan pegunungan yang cantik itu.  Sempat beberapa kali mengabadikan pemandangan Sindoro Sumbing, meski tidak total terlihat setidaknya pagi itu saya tetap mengucap syukur. 


Pemandangan pagi Gn. Sindoro yang tertutup awan

Kami semua bermain di luar tenda, tidak ada acara memasak ataupun membuat sarapan, sayapun akhirnya tidak sarapan hanya mengunyah good time dan coklat bar. 

Setelah puas berfoto dan menantikan awan hilang dari depan Sindoro, kami packing dan bersiap untuk kembali turun ke Dieng. Jam 11:00 kami mulai membereskan beberapa barang bawaan dan memastikan semuanya sudah terbawa dengan rapi. 





Jam 12:00 kami melingkar dan berdoa untuk melanjutkan perjalanan turun via Dieng. Perjalanan turun ini sangat menyenangkan, jalanan yang dilewati tidak menanjak atau menurun dengan curam. Kami harus melewati beberapa bukit yang terbentang luas dan jalan mendatar sehingga tidak membuat kami capek. 

Kira-kira tiba di Pos 3 barulah saya menemui jalanan menurun, dari Pos 3 ini sampai pos 1 jalanan akan terus menurun, hal ini membuat lutut saya gemetaran didukung sayapun belum sarapan dan hanya makan coklat bar

Dari serangkaian pendakian, jalan menurun dan pulang adalah yang paling ditunggu-tunggu. Tiba di Pos 2 pun kami masih tertawa-tawa sambil bermain kuis yang dipimpin oleh Mas Eko. Di beberapa kali pemberhentian kami yang tentunya sangat lapar masih bisa bercanda, mulai dari candaan “ Ingin Menikah” sampai “Kapan ke mana lagi ?’’. 

Karena terlalu lama bercanda, pada akhirnya kami pun diam satu persatu. Jalan kami mulai terseok-seok dan sesekali tidak fokus. Saya pun tetap berusaha berjalan dan bersemangat agar cepat sampai ke homestay. Biasanya untuk melupakan rasa capek, saya selalu membiasakan diri mendegarkan musik saat sedang melakukan pendakian, beberapa putaran musik membuat saya bersemangat sekaligus melupakan rasa lapar. 

Playlist lagu-lagu Float menjadi pilihan saya, saat sedang melakukan pendakian. Menurut saya mendengarkan musik saat mendaki membuat saya semakin rileks dan tentunya tidak terlalu banyak ngobrol yang menjadi cepat haus. 


Lewat sudah 3 hari tuk selamanya
Dan kekal-lah detik-detik di dalamnya 


Setelah berjalan jauh tak terasa pos 1 sudah di depan. Kamipun memutuskan untuk berhenti sejenak, banyak pendaki yang baru memulai untuk naik. Saya mengamati wajahnya satu persatu. Ada satu yang mulai kelelehan hingga dia dituntun pelan-pelan oleh kawannya. 

Setelah agak sepi, kami melanjutkan perjalanan lagi sampai akhirnya saya meninggalkan yang lainnya. Pos 1 sudah mulai tampak, Mas Riqfy sudah berjalan tepat di belakang saya. Lalu saya pun bertanya “ Loh Mas, yang lain mana ? masih jauh mereka ? ” Mas Rifqy menjawab “ Mereka masi makan carica, tadi habis metik ”. Karena mereka masih di belakang sayapun memutuskan untuk beristirahat sebentar, sambil menunggu yang lain. 

Setelah beberapa berkumpul saya lanjut berjalan melewati hamparan perkebunan Dieng. Saya selalu suka melihat petani-petani yang sedang menanam atau sedang menebar pupuk. Bau pupuk kandang ini makin menyengat dan dibarengi panas matahari juga lebih menyengat. Saya berjalan menurun terus sampai akhirnya tibalah di gardu “ Selamat Datang di Pos Pendakian Jalur Dieng ”. 

Beberapa teman yang lain belum sampai, dan akhirnya sayapun duduk sambil melepaskan keril. Saat yang lainnya sudah datang, sebelum berangkat ke homestay kami sempat berfoto terlebih dahulu di bawah tulisan “ Selamat Datang di Pos Pendakian Jalur Dieng”. Setelah puas berfoto, kamipun melanjutkan perjalanan lagi menuju homestay. 


Kami memesan homestay yang jaraknya dekat dengan Candi Arjuna. Apabila kalian ingin melakukan pendakian Gn. Prau, homestay dekat Candi Arjuna ini bisa menjadi pilihan untuk beristirahat setelah melakukan pendakian. Info penginapan homestay maupun paket perjalanan Dieng atau sewa mobil bisa hubungi via Instagram @penginapandiengmurah atau Tlp/WA (082243727787 - Mas Muhajir). 


Berjalan dari pos pendakian jalur Dieng menuju homestay tidaklah terlalu jauh, kami lewat jalanan setapak dan rumah penduduk, sempat juga lewat ladang. Dibutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk sampai menuju homestay dari Pos Pendakian Jalur Dieng. Kami berjalan terus sampai akhirnya dipertigaan Indomaret, kami mengambil arah ke Candi Arjuno. 

Di sebelah kiri jalan banyak yang menjual aneka makanan, di sisi kanannya banyak homestay-homestay yang disewakan dengan harga yang relatif murah. Pukul 3:20 kamipun akhirnya tiba di Homestay Kalitus. Saya lalu masuk meletakkan keril dan merebah di kasur. 

Saat sore hari setelah semuanya sudah mandi, akhirnya kami mencari makanan setelah setengah hari perut kami belum terisi nasi sama sekali. Kami memutuskan untuk makan di dekat homestay. Mas Muhajir mengajak kami makan di warung dekat homestay, rasa penasaran sayapun muncul pada rasa Mie Ongklok. Sejak di alun-alun Wonosobo, saya sudah penasaran dengan rasa Mie Ongklok maupun Purwaceng. Akhirnya sayapun memesan keduanya. 

Kedua pesanan datang dan saya pun mencoba. Mie Ongklok ini kuahnya seperti kuah papeda, agak kental dan seperti dicampur dengan tepung kanji, tapi saya belum tau persis kira-kira bahan kuah Mie Ongklok ini apa tepatnya. Sudah saya duga rasanya akan manis, bagi yang tidak suka manis bisa dicampur dengan sambal atau tambahkan garam saja. Untuk susu purwacengnya, saya terlalu berekspetasi tinggi kalau susunya menggunakan susu murni, ternyata waktu saya coba rasanya seperti susu kental sachet. Mungkin kalau susunya menggunakan susu murni asli tentu rasanya lebih enak dipadu dengan rempahnya. 

Setelah makan bersama, kami kembali ke homestay. Dilanjutkan dengan menonton tv di ruang tamu  sambil mendiskusikan perjalanan untuk keesokan harinya.

Catatan : Perjalanan ini dilakukan pada 13-15 April 2018. 
Pendakian Via Patak Banteng menuju Dieng

2 Mei 2018

Jokopi : Es Kopi Susu Blusukan di Surabaya

Sudah lama saya tidak mencoba es kopi di Surabaya. Saat saya pulang ke Surabaya, saya dan Jun menyempatkan diri untuk mampir ke salah satu kedai kopi yang baru buka. 

Sebetulnya kedai kopi ini belum punya tempat sendiri, jadi lokasinya gabung dengan beberapa kedai jualan. Kalau sedang ramai sih gak terlalu worth it untuk diminum di sana, baiknya dibawa pulang saja, atau order via gojek. 

Kami berdua akhirnya memutuskan berangkat menuju Jokopi setelah waktu dhuhur, saat Surabaya lagi panas-panasnya. Jokopi merupakan salah satu kopi susu yang memiliki banyak varian. Jokopi sendiri punya ciri khas yang sering disebut sebagai  " Kopi Blusukan ".

Dengan mengangkat tema " Blusukan ", pada akhirnya Jokopi dikenal dengan kopi blusukannya. Blusukan di sini memiliki 2 arti, arti yang pertama blusukan sendiri dimaknai sebagai blusukan yang mengenal dan belajar dari kedai-kedai kopi di penjuru nusantara sekaligus mengunjungi kebun kopi dan menemui petani-petani kopi. Blusukan kedua dimaknai sebagai branding dari Jokopi itu sendiri, terinspirasi dari Presiden Jokowi yang sering turun ke lapangan dan melakukan aksi blusukannya. Sehingga Jokopi pun membranding dirinya sebagai kopi blusukan yang mampu mengenalkan aneka kopi dengan gaya blusukan, mulai dari event ke event.




Segelas kopi yang dikombinasikan dengan susu menjadi modal utama Jokopi untuk memperkenalkan kopinya. Kombinasi susu ini lebih dipilih agar semua orang terutama yang tidak begitu suka dengan kopi karena rasa pahit ataupun masamnya, mampu mencoba minum kopi dan suka. Biji kopi yang digunakanpun bukan sembarang biji kopi, Jokopi menggunakan beberapa beans untuk memaksimalkan rasa kopi susunya.



Untuk saat ini Jokopi menyediakan 4 macam racikan kopi yaitu ES KOPI SUSU BLUSUKAN, ES KOPI SUSU ARUM MANIS, ES SUSU ARANG, dan ES COKLAT SUSU KRIM, dan tentunya dalam waktu dekat ini Jokopi akan mengeluarkan varian rasa terbarunya.

Saya pertama kali mencoba rasa kopi susu, rasanya pas dan tetap bisa diminum bagi sebagian orang yang kurang menyukai rasa asam pahitnya kopi. Rasa kedua yang saya coba adalah rasa kopi susu arum manis, dengan tambahan bubuk spesial arum manis dicampur dengan gula aren khas Bengkulu, racikan susu dan kopi. Meski rasa kopinya semakin manis, namun rasa kopinya masi tetap terasa meski telah diberi susu dan arum manisnya. Oh ya di sini bukan hanya Es saja tetapi bisa pesan versi hangatnya. 


Kopi ini cocok diminum kapan saja, terutama di siang hari saat Surabaya sedang panas-panasnya. Buat yang diluar kota Surabaya, tunggu saja waktunya. Karena kopi Jokopi akan selalu blusukan memperkenalkan aneka kopi-kopinya.

Alamat : Jl. Ketabang Kali No.51 A, Kel. Ketebang, Genteng, Kota SBY, Jawa Timur.
Catatan :
Harga:  dari Rp. 15.000
Bisa pesan via go food
Dekat dengan Es Krim Zangrandi, Balai Kota Surabaya.