Kemarin sebelum pulang ke Surabaya, seperti
biasa saya menghabiskan waktu untuk duduk-duduk di 0 Kilometer Jogja hampir 4
Jam.
Entah sekedar mengambil gambar, memandang
orang berjualan disekitar, orang-orang yang sedang berfoto, dan apapun yang ada
disana satu persatu saya amati.
0 Km Yogyakarta |
Suasana 0 km Yogyakarta |
Saya duduk di salah satu tempat dekat
dengan para pedangan asongan yang berjualan.
Perkenalkan beliau adalah Ibu Dimas, beliau
berjualan arum manis di 0 kilometer dan seorang pendatang dari Banten. Beliau
banyak bercerita bahwa Jogja telah membuatnya nyaman hingga dalam kurun waktu 2
tahun, beliau sama sekali belum pulang ke Banten dan memilih menetap di
Jogja.
Saya begitu antusias dengan Bu Dimas.
Beberapa menit kami mengobrol. Banyak pelajaran yang didapat dari Bu
Dimas.
Bu Dimas sesekali menghibur pedangang
asongan yang lain. Ada salah satu pedangang asongan, dia sudah beberapa jam
berjualan disitu dan belum sama sekali laku dagangannya. Dia sesekali mengeluh,
dan sedih karena terkadang para pembelinya menawar terlalu sadis.
Para pedagang asongan lainnya |
Masih ada tawa dan semangat. |
Pada akhirnya Bu Dimas ini tetap membantu mempromosikan dagangan temannya, sambil menghibur.
" Ayo beli kacamatanya, buat yang gak
pede pakai saja kacamata"
Yang membuat perasaan saya kagum adalah
pada percakapan Ibu Dimas dengan pedangan asongan yang lain.
Beliau sempat berkata, bahwa hidup ini ya
disyukuri saja toh kita sudah usaha kan ? Pastilah dikasih rejeki ama
Tuhan.
Entah semangat seperti apa yang telah
tersimpan dalam Bu Dimas. Saya terkagum-kagum.
Lalu beberapa menit kemudian beliau
melihatku. Saya yang waktu itu sedang asik mengambil gambar di area 0 Kilometer
Jogja.
Bu Dimas bertanya " Itu fotonya bagus,
siapa yang ngambil ? Ibarat cerita, itu foto memiliki banyak makna ya
".
Lalu saya dan Jun saling berebut mengakui hasil karya. Padahal itu ya karya saya.
Sambil tertawa bersama dengan bu
Dimas.
Bu Dimas berkata "kalau yang ngaku,
biasanya bukan yang ngambil nih, hahaha"
Akhirnya kamipun tertawa.
Bu Dimas sempat bercerita tentang
kenyamanan dan keramahan Kota Jogjakarta.
Entah mengapa Jogja membuatnya enggan
kembali ke Kota asalnya di Banten. Galerinya ditutup, dan dia memilih untuk
hidup dan bertahan di Jogja.
Bu Dimas bilang, beliau masi begitu
penasaran mengapa Jogja begitu kuat membawa dampak nyaman bagi orang-orang yang
datang sampai-sampai malas untuk kembali. Begitu juga saya dan Jun
sepakat.
Bu Dimas pernah bertanya kepada abdi
dalem Keraton tentang Sejarah Jogja dan kekuatan apa yang membuat pendatangnya
bisa betah dan nyaman. Tapi dia masi belum puas dengan jawabannya.
Beliau juga menyarankan kami agar main-main
ke Imogiri, karena disana banyak sesepuh orang Jogja.
Baik bu, kami akan kesana dalam waktu
dekat. Jawab saya dengan Jun.
Banyak yang diceritakan oleh Bu Dimas
kepada kami. Tentang arti hidup, kerja keras dan saran-saran kehidupan untuk
kedepannya.
Saya dan Ibu Dimas sebelum pulang |
Bu Dimas memberi saran kepada kami, bahwa
ya sebaiknya mulai sekarang ini rajin-rajin merintis usaha. Agar kedepannya lapangan
kerja banyak dibuka, dan banyak menolong orang. Toh hidup adalah
tolong-menolong kan ?
Beliau bercerita bahwa hidup ini
betul-betul kejam. Maka dari itu harus dipersiapkan, dan tetap jangan mengeluh,
berusahalah, karena tidak ada usaha yang sia-sia.