Sekira bulan Mei 2015, saya sempat mendaki Gunung Merbabu. Kala itu kami berduapuluhan orang, memanfaatkan libur kuliah. Pendakian saat itu tidak sampai puncak, karena kami terjebak hujan hingga menjelang siang di Sabana I, terlebih lagi waktu yang mengejar kami di bawah. Walaupun yang dikejar jadwal kegiatan hanya satu orang, kami berprinsip "jika berangkat bersama, maka pulang harus bersama". Hujan dan Idealisme membuat saya menunda untuk menginjakkan kaki di Kenteng Songo. Saya dan seorang sahabat bergumam "tenang, Merbabu gak akan kemana-mana, suatu saat kita kesini lagi".
Kami yang dari Yogyakarta memulai perjalanan ketika pagi masih remang, bahkan sebelum matahari menampakkan dirinya. Kami dijemput di sebuah hotel yang kebetulan juga dekat dengan kos mbak Sukma, di Jalan Kaliurang. Mobil mulai berjalan, merayap di jalanan aspal yang masih dingin oleh embun pagi. lurus ke arah utara menuju Magelang. Tak sampai kota Magelang, mobil berebelok kanan menuju arah timur, tepatnya di Muntilan. Dari Muntilan jalanan mulai menanjak walaupun masih cukup landai, dengan ditemani matahari yang mulai membuat perjalanan kami menghangat. Jalanan terus menanjak mengitari lereng barat merapi, kemudian terus ke lereng utara. Pemandangan di jalur ini sangat indah, melewati beberapa pasar tradisional. Keributan pasar tradisional menjadi hiburan tersendiri bagi kami, ditemani dengan suara raungan mesin mobil tua yang kami tumpangi.
Menjelang pukul tujuh atau mungkin pukul delapan, saya tidak ingat pasti, kami sampai di Selo. Sesampainya di Selo kami beristirahat di salah satu rumah warga yang kebetulan sudah menjadi tempat istirahat para pendaki sebelum mulai mendaki ke Merbabu, lupa rumah siapa. Disini kami sarapan nasi pecel, dengan teh hangat yang asapnya seakan berlomba-lomba dengan kabut pagi di luar rumah. Ya, saat itu turun kabut. Saat kabut semakin tebal, ingatan saya melayang ke tahun 2015 saat kesini pertama kali. Ketakutan yang sama muncul kembali, "apakah akan hujan?", "apakah kabut akan terus semakin tebal?", ada rasa kecewa, trauma, dan diikuti rasa ragu. Tapi saya teringat perkataan seorang sahabat, "ragu-ragu mundur!". Saya tersadar dari lamunan, kesadaran yang serta merta menepis rasa keraguan itu, saya membatin, "kali ini aku tidak boleh mundur". Kesadaran sudah kembali, saya habiskan teh hangat yang sudah mulai mendingin.
Sekira pukul sembilan, kami mulai mengemas ulang ransel kami untuk bersiap menuju perizinan. Semua sudah siap, saatnya berdoa, merapal mantra kepasrahan, sebagai puncak pengharapan agar perjalanan baik-baik saja dan tak sia-sia. Kami menuju Pos perizinan, gerbang pertama bagi para pendaki. Kami mendaki dengan santai, tak terburu-buru. Kami nikmati setiap langkah, tiupan angin yang mendesir di daun telinga, debu yang beterbangan karena pijakan kaki sendiri, daun yang bergoyang mengikuti kemana angin mendorongnya. Ingatan kembali melayang ke tahun 2015, kala itu perjalanan menuju Pos 3 kami lewati bersama hujan. Saya kala itu bahkan tak memakai jas hujan, baju basah membuat udara semakin dingin, sungguh pendakian yang penuh perjuangan.
Tanjakan menuju Sabana I, tahun 2015. Tanah menghitam dan licin. |
Sampai di Sabana I hari sudah siang menjelang sore, di Sabana I saya hanya menengok tempat mendirikan tenda tiga tahun yang lalu. Tergambar jelas guyonan-guyonan dan tertawa tiga tahun yang lalu. Kami tak berlama-lama di Sabana I, karena kami tidak ingin sampai di Sabana II dalam keadaan gelap. Dari sinilah saya melepas ingatan-ingatan tiga tahun yang lalu, karena yang akan saya lalui di depan adalah jalur yang benar-benar asing. Jalur menuju Sabana II ternyata berupa tanjakan, namun masih lebih landai daripada sebelumnya. Disini saya sempat bertukar ransel dengan mas Rifqi, yang beratnya mungkin lebih dari 30kilogram. Lumayan terasa, tapi tidak apa-apa, anggap saja olahraga.
Tempat mendirikan tenda di Sabana I, tahun 2015 |
Sampai di Sabana II tak banyak yang kami lakukan, langsung mendirikan tenda, masak, dan bersiap untuk tidur. Malam hari kami harus istirahat cukup, karena besok perjalanan yang masih lumayan berat harus dilalui. Karena tidak boleh mundur, harus muncak.
Subuh kami sarapan, bersiap melakukan pendakian menuju puncak. Bayangan Kenteng Songo melayang-melayang di pikiran saya, ingatan janji dengan sahabat saya pun teringat. Saya harus menuntaskan hutang ini, walaupun tanpa dia, ya karena kesibukannya akhir-akhir ini. Tanjakan menuju puncak ternyata sama curamnya dengan tanjakan menuju Sabana I dan Sabana II, setidaknya level kecuraman jalur puncak berada di antaranya. Syukurlah, pendakian ke puncak ini tidak membawa beban yang terlalu berat.
Singkat cerita kami sampai di Puncak. Sampai di puncak saya bertanya-tanya dalam hati, "Kenteng Songo yang berupa batu-batu bulat itu di sebelah mana?". Sejauh mata memandang, hanya ada ada plang yang menandakan bahwa itu adalah puncak, tapi tak ada Kenteng Songo. Dalam hati saya berkata, "saya harus menemukan Kenteng Songo". Karena hutang adalah hutang, hutang Kenteng Songo harus pula dibayar dengan Kenteng Songo. Setelah kawan-kawan turun lebih dulu, saya melanjutkan mencari jalur menuju Kenteng Songo, ternyata persimpangan dua puncak ini tidak terlalu jauh. Di persimpangan, saya menelusuri jalan yang berlawanan dengan jalan yang kami lewati tadi. Sampai di atas ada tanah lapang, sayu-sayup terdengar suara pendaki, kemudian terlihat bendera merah putih. Di dasar tiang bendera itu saya melihat banyak batu berbentuk bola yang berlubang, "Kenteng Songo! Akhirnya hutangku lunas".
Kenteng Songo |
Kenteng Songo |
Kenteng Songo |